Oleh: Wahyudi Rahman |
Rasanya tidak berlebihan jika ada yang berkata bahwa adat
kita, adat Minangkabau merupakan perpaduan sukses antara falasafah adat dan
agama Islam. Tentu itu semua tidak lepas dari usaha para pendahulu kita yang
berusaha sedemikian rupa mengimplementasikan nilai agama dalam praktik adat
yang ada di tengah masyarakat. Hingga kita dapati misalnya asas yang sangat
dijaga, “adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”.
Ketika kita telusuri lebih jauh, adat Minang sangat
memperhatikan aspek akhlak serta ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan ini
sangat selaras dengan ajaran-ajaran agama. Adanya aturan dalam bertutur kata
yang kita kenal dengan “kato nan ampek, mandaki manurun, mandata jo
malereang” sangat sinkron sekali
dengan perintah agama yang menyerukan manusia untuk berkata yang baik lagi
sopan sebagaimana kita temukan dalam surat Al-Baqarah ayat 83 “… dan berkatalah
kepada manusia dengan baik…” Juga kita dapati dalam hadits Rasulullah SAW, “Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang
baik atau diam”. Tentu yang dimaksud Rasul dengan perkataan yang baik mencakup
dari segi isi serta penyampaian.
Dalam masalah keilmuan, kita dapati istilah “Alam
takambang jadi guru”. Disini kita bisa memahami bagaimana adat Minang mendorong
masyarakatnya untuk berfikir mentadaburi alam dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi.
Bukankah ini sejalan dengan seruan agama yang selalu menyuruh pemeluknya untuk selalu
berfikir dan merenungi apa yang ada di alam semesta bahkan dalam diri sendiri.
Teori falsafah Minang ini bukanlah teori khayalan belaka,
namun teori ilmiah yang akan membantah pendapat kebanyakan filosof Eropa bahwa
orang Timur tidak mampu untuk berfikir (berfilsafat). Sebagaimana yang
diungkapkan comte de
gobineau bahwa bangsa Timur
menurutnya bukan ras unggulan, tidak memiliki kemampuan ilmiah serta
berfilasafat dan juga banyak kekurangan ketimbang bangsa Eropa. Dengan adanya
falsafah ini tentu menjadi dalil penguat untuk membantah konsep yang ditawarkan
oleh tokoh Perancis ini.
Disisi lain ada poin
penting yang harus kita sadari, apakah keberadaan falsafah Minang ini masih ada
dan dijalankan oleh masyarakatnya atau hanya tinggal teori. Setidaknya jangan
sampai falsafah Minang yang bagus ini akan hilang ditelan zaman hanya karna
masyarakatnya sudah tidak peduli lagi sebagaimana nasib sebagian besar filsafat
Yunani kuno yang hanya bisa kita dapati di atas lembaran kertas.
Bersambung ke
bagian II